Senin, 21 Desember 2009

PROBLEM BASED LEARNING

PROBLEM BASED LEARNING

A. LATAR BELAKANG

Mengingat pentingnya kreativitas siswa tersebut, maka di sekolah perlu disusun suatu strategi pembelajaran yang dapat mengembangkan kreativitas. Strategi tersebut diantaranya meliputi pemilihan pendekatan, metode atau model pembelajaran. Salah satu pembelajaran yang saat ini sedang berkembang ialah pembelajaran berbasis masalah. Pembelajaran berbasis masalah merupakan suatu pembelajaran yang menuntut aktivitas mental siswa untuk memahami suatu konsep pembelajaran melalui situasi dan masalah yang disajikan pada awal pembelajaran. Masalah yang disajikan pada siswa merupakan masalah kehidupan sehari-hari (kontekstual). Pembelajaran berbasis masalah ini dirancang dengan tujuan untuk membantu siswa mengembangkan kemampuan berpikir dan mengembangkan kemampuan dalam memecahkan masalah, belajar berbagai peran orang dewasa melalui keterlibatan mereka dalam pengalaman-pengalaman. Pada pembelajaran berbasis masalah siswa dituntut untuk melakukan pemecahan masalah-masalah yang disajikan dengan cara menggali informasi sebanyak-banyaknya, kemudian dianalisis dan dicari solusi dari permasalahan yang ada. Solusi dari permasalahan tersebut tidak mutlak mempunyai satu jawaban yang benar, artinya siswa dituntut pula untuk belajar secara kreatif. Siswa diharapkan menjadi individu yang berwawasan luas serta mampu melihat hubungan pembelajaran dengan aspek-aspek yang ada dilingkungannya.

Dalam ruang lingkup pembelajaran berbasis masalah, siswa berperan sebagai seorang professional dalam menghadapi permasalahan yang muncul, meskipun dengan sudut pandang yang tidak jelas dan informasi yang minimal, siswa tetap dituntut untuk menentukan solusi terbaik yang mungkin ada. Pembelajaran berbasis masalah membuat perubahan dalam proses pembelajaran khususnya dalam segi peranan guru. Guru tidak hanya berdiri di depan kelas dan berperan sebagai pemandu siswa dalam menyelesaikan permasalahan dengan memberikan langkah-langkah penyelesaian yang sudah jadi melainkan guru berkeliling kelas memfasilitasi diskusi, memberikan pertanyaan, dan membantu siswa untuk menjadi lebih sadar akan proses pembelajaran.

Menurut Departemen Pendidikan Nasional (2003), ciri utama pembelajaran berbasis masalah meliputi mengorientasikan siswa kepada masalah atau pertanyaan yang autentik. multidisiplin, menuntut kerjasama dalam penyelidikan, dan menghasilkan karya. Dalam pembelajaran berbasis masalah situasi atau masalah menjadi titik tolak pembelajaran untuk memahami konsep, prinsip dan mengembangkan keterampilan memecahkan masalah.

BAB II

PEMBAHASAN

A. APAKAH PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH (PBL) ITU?

Untuk meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar, para ahli pembelajaran telah menyarankan penggunaan paradigma pembelajaran konstruktivistik untuk kegiatan belajar-mengajar di kelas. Dengan perubahan paradigma belajar tersebut terjadi perubahan pusat (fokus) pembelajaran dari belajar berpusat pada guru kepada belajar berpusat pada siswa. Dengan kata lain, ketika mengajar di kelas, guru harus berupaya menciptakan kondisi lingkungan belajar yang dapat membelajarkan siswa, dapat mendorong siswa belajar, atau memberi kesempatan kepada siswa untuk berperan aktif mengkonstruksi konsep-konsep yang dipelajarinya. Kondisi belajar dimana siswa/mahasiswa hanya menerima materi dari pengajar, mencatat, dan menghafalkannya harus diubah menjadi sharing pengetahuan, mencari (inkuiri), menemukan pengetahuan secara aktif sehingga terjadi peningkatan pemahaman (bukan ingatan). Untuk mencapai tujuan tersebut, pengajar dapat menggunakan pendekatan, strategi, model, atau metode pembelajaran inovatif.

Pembelajaran berbasis masalah (Probelem-based learning), selanjutnya disingkat PBL, merupakan salah satu model pembelajaran inovatif yang dapat memberikan kondisi belajar aktif kepada siswa. PBL adalah suatu model pembelajaran yang melibatkan siswa untuk memecahkan suatu masalah melalui tahap-tahap metode ilmiah sehingga siswa dapat mempelajari pengetahuan yang berhubungan dengan masalah tersebut dan sekaligus memiliki ketrampilan untuk memecahkan masalah (Ward, 2002; Stepien, dkk.,1993). Lebih lanjut Boud dan felleti, (1997), Fogarty(1997) menyatakan bahwa PBL adalah suatu pendekatan pembelajaran dengan membuat konfrontasi kepada pebelajar (siswa/mahasiswa) dengan masalah-masalah praktis, berbentuk ill-structured, atau open ended melalui stimulus dalam belajar. PBL memiliki karakteristik-karakteristik sebagai berikut: (1). belajar dimulai dengan suatu masalah, (2). memastikan bahwa masalah yang diberikan berhubungan dengan dunia nyata siswa/mahasiswa, (3). mengorganisasikan pelajaran diseputar masalah, bukan diseputar disiplin ilmu, (4). memberikan tanggung jawab yang besar kepada pebelajar dalam membentuk dan menjalankan secara langsung proses belajar mereka sendiri, (5). menggunakan kelompok kecil, (6). menuntut pebelajar untuk mendemontrasikan apa yang telah mereka pelajari dalam bentuk suatu produk atau kinerja.

Berdasarkan uraian tersebut tampak jelas bahwa pembelajaran dengan model PBL dimulai oleh adanya masalah (dapat dimunculkan oleh siswa atau guru), kemudian siswa memperdalam pengetahuannya tentang apa yang mereka telah ketahui dan apa yang mereka perlu ketahui untuk memecahkan masalah tersebut. Siswa dapat memilih masalah yang dianggap menarik untuk dipecahkan sehingga mereka terdorong berperan aktif dalam belajar.

Masalah yang dijadikan sebagai fokus pembelajaran dapat diselesaikan siswa melalui kerja kelompok sehingga dapat memberi pengalaman-pengalaman belajar yang beragam pada siswa seperti kerjasama dan interaksi dalam kelompok, disamping pengalaman belajar yang berhubungan dengan pemecahan masalah seperti membuat hipotesis, merancang percobaan, melakukan penyelidikan, mengumpulkan data, menginterpretasikan data, membuat kesimpulan, mempresentasikan, berdiskusi, dan membuat laporan. Keadaan tersebut menunjukkan bahwa model PBL dapat memberikan pengalaman yang kaya kepada siswa. Dengan kata lain, penggunaan PBL dapat meningkatkan pemahaman siswa tentang apa yang mereka pelajari sehingga diharapkan mereka dapat menerapkAannya dalam kondisi nyata pada kehidupan sehari-hari.

B. MENGAPA MENGGUNAKAN PBL ?

PBL merupakan model pembelajaran yang berorientasi pada kerangka kerja teoritik konstruktivisme. Dalam model PBL, fokus pembelajaran ada pada masalah yang dipilih sehingga pebelajar tidak saja mempelajari konsep-konsep yang berhubungan dengan masalah tetapi juga metode ilmiah untuk memecahkan masalah tersebut. Oleh sebab itu, pebelajar tidak saja harus memahami konsep yang relevan dengan masalah yang menjadi pusat perhatian tetapi juga memperoleh pengalaman belajar yang berhubungan dengan ketrampilan menerapkan metode ilmiah dalam pemecahan masalah dan menumbuhkan pola berpikir kritis.

Bila pembelajaran yang dimulai dengan suatu masalah, apalagi kalau masalah tersebut bersifat kontekstual, maka dapat terjadi ketidaksetimbangan kognitif pada diri pebelajar. Keadaan ini dapat mendorong rasa ingin tahu sehingga memunculkan bermacam-macam pertanyaan disekitar masalah seperti “apa yang dimaksud dengan….”, “mengapa bisa terjadi….”, “bagaimana mengetahuinya…” dan seterusnya. Bila pertanyaan-pertanyaan tersebut telah muncul dalam diri pebelajar maka motivasi intrinsik mereka untuk belajar akan tumbuh. Pada kondisi tersebut diperlukan peran guru sebagai fasilitator untuk mengarahkan pebelajar tentang “konsep apa yang diperlukan untuk memecahkan masalah”, “apa yang harus dilakukan” atau “bagaimana melakukannya” dan seterusnya. Dari paparan tersebut dapat diketahi bahwa penerapan PBL dalam pembelajaran dapat mendorong siswa/mahasiswa mempunyai inisiatif untuk belajar secara mandiri. Pengalaman ini sangat diperlukan dalam kehidupan sehari-hari dimana berkembangnya pola pikir dan pola kerja seseorang bergantung pada bagaimana dia membelajarkan dirinya.

Lebih lanjut Arends (2004) menyatakan bahwa ada tiga hasil belajar (outcomes) yang diperoleh pebelajar yang diajar dengan PBL yaitu: (1) inkuiri dan ketrampilan melakukan pemecahan masalah, (2) belajar model peraturan orang dewasa (adult role behaviors), dan (3) ketrampilan belajar mandiri (skills for independent learning). Inkuiri dan ketrampilan proses dalam pemecahan masalah telah dipaparkan sebelumnya. Siswa yang melakukan inkuiri dalam pempelajaran akan menggunakan ketrampilan berpikir tingkat tinggi (higher-order thinking skill) dimana mereka akan melakukan operasi mental seperti induksi, deduksi, klasifikasi, dan reasoning. PBL juga bertujuan untuk membantu pebelajar siswa/mahasiswa belajar secara mandiri.

Pembelajaran PBL dapat diterapkan bila didukung lingkungan belajar yang konstruktivistik. Lingkungan belajar konstruktivistik mencakup beberapa faktor yaitu (Jonassen dalam Reigeluth (Ed), 1999:218): kasus-kasus berhubungan, fleksibelitas kognisi, sumber-sumber informasi, cognitive tools, pemodelan yang dinamis, percakapan dan kolaborasi, dan dukungan sosial dan kontekstual.

Kasus-kasus berhubungan, membantu pebelajar untuk memahami pokok-pokok permasalahan secara implisit. Kasus-kasus berhubungan dapat membantu siswa/mahasiswa belajar mengidentifikasi akar masalah atau sumber masalah utama yang berdampak pada munculnya masalah yang lain. Kegiatan belajar seperti itu dapat membantu pebelajar meningkatkan kemampuan berpikir kritis yang sangat berguna dalam kehidupan sehari-hari.

Fleksibelitas kognisi merepresentasi materi pokok dalam upaya memahami kompleksitas yang berkaitan dengan domain pengetahuan. Fleksibelitas kognisi dapat ditingkatkan dengan memberikan kesempatan bagi pebelajar untuk memberikan ide-idenya, yang menggambarkan pemahamannya terhadap permasalahan. Fleksibelitas kognisi dapat menumbuhkan kreativitas berpikir divergen didalam mempresentasikan masalah. Dari masalah yang siswa/mahasiswa tetapkan, mereka dapat mengembangkan langkah-langkah pemecahan masalah, mereka dapat mengemukakan ide pemecahan yang logis. Ide-ide tersebut dapat didiskusikan dahulu dalam kelompok kecil sebelum dilaksanakan.

Sumber-sumber informasi, bermanfaat bagi pebelajar dalam menyelidiki permasalahan. Informasi dikonstruksi dalam model mental dan perumusan hipotesis yang menjadi titik tolak dalam memanipulasi ruang permasalahan. Dalam konteks belajar sains (kimia), pengetahuan sains yang dimiliki siswa terhadap masalah yang dipecahkan dapat digunakan sebagai acuan awal dan dalam penelusuran bahan pustaka sesuai dengan masalah yang mereka pecahkan.

Cognitive tools, merupakan bantuan bagi pelajar untuk meningkatkan kemampuan menyelesaikan tugas-tugasnya. Cognitive tools membantu pebelajar untuk merepresentasi apa yang diketahuinya atau apa yang dipelajarinya, atau melakukan aktivitas berpikir melalui pemberian tugas-tugas.

Pemodelan yang dinamis, adalah pengetahuan yang memberikan cara-cara berpikir dan menganalisis, mengorganisasi, dan memberikan cara untuk mengungkapkan pemahaman mereka terhadap suatu fenomena. Pemodelan membantu mahasiswa untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan, “apa yang saya ketahui” dan “apa artinya”. Percakapan dan kolaborasi, dilakukan dengan diskusi dalam proses pemecahan masalah. Diskusi secara tidak resmi dapat menumbuhkan suasana kolaborasi. Diskusi yang intensif dimana terjadi proses menjelaskan dan memperhatikan penjelasan peserta diskusi dapat membatu siswa mengembangkan komunikasi ilmiah, argumentasi yang logis, dan sikap ilmiah. Dukungan sosial dan kontekstual, berhubungan dengan bagaimana masalah yang menjadi fokus pembelajaran dapat membuat pebelajar termotivasi untuk memecahkannya. Dukungan sosial dalam kelompok, adanya kondisi yang saling memotivasi antar pebelajar dapat menumbuhkan kondisi ini. Suasana kompetitif antar kelompok juga dapat mendukung kinerja kelompok. Dukungan sosial dan kontekstual hendaknya dapat diakomodasi oleh para guru/dosen untuk mensukseskan pelaksanaan pembelajaran.

Berdasarkan uraian di atas dapat dikemukakan bahwa PBL sebaiknya digunakan dalam pembelajaran karena: (1) Dengan PBL akan terjadi pembelajaran bermakna. Siswa/mahasiswa yang belajar memecahkan suatu masalah maka mereka akan menerapkan pengetahuan yang dimilikinya atau berusaha mengetahui pengetahuan yang diperlukan. Artinya belajar tersebut ada pada konteks aplikasi konsep. Belajar dapat semakin bermakna dan dapat diperluas ketika siswa/mahasiswa berhadapan dengan situasi di mana konsep diterapkan; (2) Dalam situasi PBL, siswa/mahasiswa mengintegrasikan pengetahuan dan ketrampilan secara simultan dan mengaplikasikannya dalam konteks yang relevan. Artinya, apa yang mereka lakukan sesuai dengan keadaan nyata bukan lagi teoritis sehingga masalah-masalah dalam aplikasi suatu konsep atau teori mereka akan temukan sekaligus selama pembelajaran berlangsung; dan (3) PBL dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis, menumbuhkan inisiatif siswa/mahasiswa dalam bekerja, motivasi internal untuk belajar, dan dapat mengembangkan hubungan interpersonal dalam bekerja kelompok.

Gejala umum yang terjadi pada siswa dan mahasiswa pada saat ini adalah “malas berpikir” mereka cenderung menjawab suatu pertanyaan dengan cara mengutip dari buku atau bahan pustaka lain tanpa mengemukakan pendapat atau analisisnya terhadap pendapat tersebut. Bila keadaan ini berlangsung terus maka siswa atau mahasiswa akan mengalami kesulitan mengaplikasikan pengetahuan yang diperolehnya di kelas dengan kehidupan nyata. Dengan kata lain, pelajaran di kelas adalah untuk memperoleh nilai ujian dan nilai ujian tersebut belum tentu relevan dengan tingkat pemahaman mereka. Oleh sebab itu, model PBL mungkin dapat menjadi salah satu solusi untuk mendorong siswa/mahasiswa berpikir dan bekerja ketimbang menghafal dan bercerita.

C. BAGIMANA MENGIMPLEMENTASIKAN PBL DALAM PEMBELAJARAN ?

Ada beberapa cara menerapkan PBL dalam pembelajaran. Secara umum penerapan model ini mulai dengan adanya masalah yang diharus dipecahkan atau dicari pemecahannya oleh siswa/mahasiswa. Masalah tersebut dapat berasal dari siswa/mahasiswa atau mungkin juga diberikan oleh pengajar. Siswa/mahasiswa akan memusatkan pembelajaran di sekitar masalah tersebut, dengan arti lain, siswa belajar teori dan metode ilmiah agar dapat memecahkan masalah yang menjadi pusat perhatiannya.

Pemecahan masalah dalam PBL harus sesuai dengan langkah-langkah metode ilmiah. Dengan demikian siswa/mahasiswa belajar memecahkan masalah secara sistematis dan terencana. Oleh sebab itu, penggunaan PBL dapat memberikan pengalaman belajar melakukan kerja ilmiah yang sangat baik kepada siswa/mahasiswa.

a. Langkah-Langkah Dalam Pembelajaran Berbasis Masalah

Sebelum memulai proses belajar-mengajar di dalam kelas, siswa terlebih dahulu diminta untuk mengobservasi suatu fenomena terlebih dahulu. Kemudian siswa diminta untuk mencatat permasalahan-permasalahan yang muncul. Setelah itu, tugas guru adalah merangsang siswa untuk berpikir kritis dalam memecahkan masalah yang ada. Tugas guru adalah mengarahkan siswa untuk bertanya, membuktikan asumsi, dan mendengarkan perspektif yang berbeda dengan mereka.

1. Memanfaatkan lingkungan siswa untuk memperoleh pengalaman belajar

Guru memberikan penugasan yang dapat dilakukan di berbagai konteks lingkungan siswa antara lain di sekolah, keluarga, dan masyarakat. Penugasan yang diberikan oleh guru memberikan kesempatan bagi siswa untuk belajar di luar kelas. Misalnya, siswa keluar dari ruang kelas dan berinteraksi langsung untuk melakukan wawancara. Siswa diharapkan dapat memperoleh pengalaman langsung tentang apa yang sedang dipelajari. Pengalaman belajar merupakan aktivitas belajar yang harus dilakukan siswa dalam rangka mencapai penguasaan standar kompetensi, kemampuan dasar dan materi pembelajaran.

2. Memberikan aktivitas kelompok

Aktivitas belajar secara kelompok dapat memperluas perspektif serta membangun kecakapan interpersonal untuk berhubungan dengan orang lain. Guru dapat menyusun kelompok terdiri dari tiga, lima maupun delapan siswa sesuai dengan tingkat kesulitan penugasan.

3. Membuat aktivitas belajar mandiri

Peserta didik tersebut mampu mencari, menganalisis dan menggunakan informasi dengan sedikit atau bahkan tanpa bantuan guru. Supaya dapat melakukannya, siswa harus lebih memperhatikan bagaimana mereka memproses informasi, menerapkan strategi pemecahan masalah, dan menggunakan pengetahuan yang telah mereka peroleh. Pengalaman pembelajaran kontekstual harus mengikuti uji-coba terlebih dahulu; menyediakan waktu yang cukup, dan menyusun refleksi; serta berusaha tanpa meminta bantuan guru supaya dapat melakukan proses pembelajaran secara mandiri (independent learning).

4. Membuat aktivitas belajar bekerjasama dengan masyarakat

Sekolah dapat melakukan kerja sama dengan orang tua siswa yang memiliki keahlian khusus untuk menjadi guru tamu. Hal ini perlu dilakukan guna memberikan pengalaman belajar secara langsung dimana siswa dapat termotivasi untuk mengajukan pertanyaan. Selain itu, kerja sama juga dapat dilakukan dengan institusi atau perusahaan tertentu untuk memberikan pengalaman kerja. Misalnya meminta siswa untuk magang di tempat kerja.

5. Menerapkan penilaian autentik

Dalam pembelajaran kontekstual, penilaian autentik dapat membantu siswa untuk menerapkan informasi akademik dan kecakapan yang telah diperoleh pada situasi nyata untuk tujuan tertentu. Menurut Johnson (2002: 165), penilaian autentik memberikan kesempatan luas bagi siswa untuk menunjukkan apa yang telah mereka pelajari selama proses belajar-mengajar. Adapun bentuk-bentuk penilaian yang dapat digunakan oleh guru adalah portfolio, tugas kelompok, demonstrasi, dan laporan tertulis.

Portfolio merupakan kumpulan tugas yang dikerjakan siswa dalam konteks belajar di kehidupan sehari-hari. Siswa diharapkan untuk mengerjakan tugas tersebut supaya lebih kreatif. Mereka memperoleh kebebasan dalam belajar. Selain itu, portfolio juga memberikan kesempatan yang lebih luas untuk berkembang serta memotivasi siswa. Penilaian ini tidak perlu mendapatkan penilaian angka, melainkan melihat pada proses siswa sebagai pembelajar aktif. Sebagai contoh, siswa diminta untuk melakukan survey mengenai jenis-jenis pekerjaan di lingkungan rumahnya.

Tugas kelompok dalam pembelajaran kontekstual berbentuk pengerjaan proyek. Kegiatan ini merupakan cara untuk mencapai tujuan akademik sambil mengakomodasi perbedaan gaya belajar, minat, serta bakat dari masing-masing siswa. Isi dari proyek akademik terkait dengan konteks kehidupan nyata, oleh karena itu tugas ini dapat meningkatkan partisipasi siswa. Sebagai contoh, siswa diminta membentuk kelompok proyek untuk menyelidiki penyebab pencemaran sungai di lingkungan siswa.

Dalam penilaian melalui demonstrasi, siswa diminta menampilkan hasil penugasan kepada orang lain mengenai kompetensi yang telah mereka kuasai. Para penonton dapat memberikan evaluasi pertunjukkan siswa. Sebagai contoh, siswa diminta membentuk kelompok untuk membuat naskah drama dan mementaskannya dalam pertunjukan drama.

Bentuk penilaian yang terakhir adalah laporan tertulis. Bentuk laporan tertulis dapat berupa surat, petunjuk pelatihan teknis, brosur, essai penelitian, essai singkat.

Menurut Brooks&Brooks dalam Johnson (2002: 172), bentuk penilaian seperti ini lebih baik dari pada menghafalkan teks, siswa dituntut untuk menggunakan ketrampilan berpikir yang lebih tinggi agar dapat membantu memecahkan masalah yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari.

Berdasarkan penjabaran yang telah dikemukakan diatas, kurikulum berbasis kompetensi perlu dikembangkan supaya dapat diterapkan secara efektif di dalam proses belajar mengajar. Guru sebagai pelaksana kurikulum dapat menerapkan strategi pembelajaran kontekstual supaya dapat memberikan bentuk pengalaman belajar. Dengan demikian, siswa diharapkan dapat memiliki kecakapan untuk memecahkan permasalahan hidup sesuai dengan kegiatan belajar yang mengarahkan siswa untuk terlibat secara langsung dalam konteks rumah, masyarakat maupun tempat kerja.

Keberhasilan penerapan pembelajaran kontekstual perlu melibatkan berbagai pihak. Dalam hal ini, penulis menyarankan supaya pihak sekolah dan masyarakat memiliki kesadaran akan pentingnya beberapa hal, yaitu:sumber belajar tidak hanya berasal dari buku dan guru, melainkan juga dari lingkungan sekitar baik di rumah maupun di masyarakat; strategi pembelajaran kontekstual memiliki banyak variasi sehingga memungkinkan guru untuk mengembangkan model pembelajaran yang berbeda dengan keajegan yang ada; pihak sekolah dan masyarakat perlu memberikan dukungan baik materiil maupun non-materiil untuk menunjang keberhasilan proses belajar siswa.

b. Langkah-Langkah Pemecahan Masalah Dalam PBL

Langkah-langkah pemecahan masalah dalam pembelajaran PBL paling sedikit ada delapan tahapan (Pannen, 2001), yaitu:

(1. mengidentifikasi masalah

(2. mengumpulkan data

(3. menganalisis data

(4. memecahkan masalah berdasarkan pada data yang ada

(5. memilih cara untuk memecahkan masalah

(6. merencanakan penerapan pemecahan masalah

(7. melakukan uji coba terhadap rencana yang ditetapkan

(8. melakukan tindakan (action) untuk memecahkan masalah

Empat tahap yang pertama mutlak diperlukan untuk berbagai kategori tingkat berfikir, sedangkan empat tahap berikutnya harus dicapai bila pembelajaran dimaksudkan untuk mencapai keterampilan berfikir tingkat tinggi (higher order thinking skills). Dalam proses pemecahan masalah sehari-hari, seluruh tahapan terjadi dan bergulir dengan sendirinya, demikian pula keterampilan seseorang harus mencapai seluruh tahapan tersebut.

Langkah mengidentifikasi masalah merupakan tahapan yang sangat penting dalam PBL. Pemilihan masalah yang tepat agar dapat memberikan pengalaman belajar yang mencirikan kerja ilmiah seringkali menjadi ”masalah” bagi guru dan siswa. Artinya, pemilihan masalah yang kurang luas, kurang relevan dengan konteks materi pembelajaran, atau suatu masalah yang sangat menyeimpang dengan tingkat berpikir siswa dapat menyebabkan tidak tercapainya tujuan pembelajaran. Oleh sebab itu, sangat penting adanya pendampingan oleh guru/dosen pada tahap ini. Walaupun guru/dosen tidak melakukan intervensi terhadap masalah tetapi dapat memfokuskan masalah melalui pertanyaan-pertanyaan agar siswa/mahasiswa melakukan refleksi lebih dalam terhadap masalah yang dipilih. Dalam hal ini guru/dosen harus berperan sebagai fasilitator agar pembelajaran tetap pada bingkai yang direncanakan.

Suatu hal yang sangat penting untuk diperhatikan dalam PBL adalah pertanyaan berbasis why bukan sekedar how. Oleh karena itu, setiap tahap dalam pemecahan masalah, keterampilan mahasiswa dalam tahap tersebut hendaknya tidak semata-mata keterampilan how, tetapi kemampuan menjelaskan permasalahan dan bagaimana permasalahan dapat terjadi. Tahapan dalam proses pemecahan masalah digunakan sebagai kerangka atau panduan dalam proses belajar melalui PBL. Namun yang harus dicapai pada akhir pembelajaran adalah kemampuannya untuk memahami permasalahan dan alasan timbulnya permasalahan tersebut serta kedudukan permasalahan tersebut dalam tatanan sistem yang sangat luas. Apalagi jika PBL digunakan untuk proses pembelajaran di perguruan tinggi

c. Prinsip-Prinsip dalam Penerapan Pembelajaran Berbasis Masalah(PBL)

Pembelajaran berbasis masalah secara khusus melibatkan siswa bekerja pada masalah dalam kelompok kecil yang terdiri dari lima orang dengan bantuan asisten sebagai tutor. Masalah disiapkan sebagai konteks pembelajaran baru. Analisis dan penyelesaian terhadap masalah itu menghasilkan perolehan pengetahuan dan keterampilan pemecahan masalah. Permasalahan dihadapkan sebelum semua pengetahuan relevan diperoleh dan tidak hanya setelah membaca teks atau mendengar ceramah tentang materi subjek yang melatarbelakangi masalah tersebut. Hal inilah yang membedakan antara PBL dan metode yang berorientasi masalah lainnya.

Tutor berfungsi sebagai pelatih kelompok yang menyediakan bantuan agar interaksi siswa menjadi produktif dan membantu siswa mengidentifikasi pengetahuan yang dibutuhkan untuk memecahkan masalah. Hasil dari proses pemecahan masalah itu adalah, siswa membangun pertanyaan-pertanyaan (isu pembelajaran) tentang jenis pengatahuan apa yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah? Setelah itu, siswa melakukan penelitian pada isu-isu pembelajaran yang telah diidentifikasi dengan menggunakan berbagai sumber. Untuk ini siswa disediakan waktu yang cukup untuk belajar mandiri. Proses PBL akan menjadi lengkap bila siswa melaporkan hasil penelitiannnya (apa yang dipelajari) pada pertemuan berikutnya. Tujuan pertama dari paparan ini adalah untuk menunjukkan hubungan antara pengetahuan baru yang diperoleh dengan masalah yang ada ditangan siswa. Fokus yang kedua adalah untuk bergerak pada level pemahaman yang lebih umum, membuat kemungkinan transfers pengetahuan baru. Setelah melengkapi siklus pemecahan masalah ini, siswa akan memulai menganalisis masalah baru, kemudian diikuti lagi oleh prosedur: analisis- penelitian- laporan

d. Ciri-Ciri Model Pembelajaran Berbasis Masalah

Berbagai pengembang pembelajaran berbasis masalah telah menunjukkkan ciri-ciri pengajaran berbasis masalah sebagai berikut.

Ø Pengajuan masalah atau pertanyaan

Pengajaran berbasis masalah bukan hanya mengorganisasikan prinsip-prinsip atau ketrampilan akademik tertentu, pembelajaran berdasarkan masalah mengorganisasikan pengajaran di sekitar pertanyaan dan masalah yang kedua-duanya secara sosial penting dan secara pribadi bermakna untuk siswa. Mereka dihadapkan situasi kehidupan nyata yang autentik , menghindari jawaban sederhana, dan memungkinkan adanya berbagai macam solusi untuk situasi itu. Menurut Arends (dalam Abbas, 2000:13), pertanyaan dan masalah yang diajukan haruslah memenuhi criteria sebagai berikut.

(a) Autentik.

Yaitu masalah harus lebih berakar pada kehidupan dunia nyata siswa dari pada berakar pada prinsip-prinsip disiplin ilmu tertentu.

(b) Jelas.

Yaitu masalah dirumuskan dengan jelas, dalam arti tidak menimbulkan masalah baru bagi siswa yang pada akhirnya menyulitkan penyelesaian siswa.

(c) Mudah dipahami.

Yaitu masalah yang diberikan hendaknya mudah dipahami siswa. Selain itu masalah disusun dan dibuat sesuai dengan tingkat perkembangan siswa.

(d) Luas dan sesuai dengan tujuan pembelajaran.

Yaitu masalah yang disusun dan dirumuskan hendaknya bersifat luas, artinya masalah tersebut mencakup seluruh materi pelajaran yang akan diajarkan sesuai dengan waktu, ruang dan sumber yang tersedia. Selain itu, masalah yang telah disusun tersebut harus didasarkan pada tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan.

(e) Bermanfaat.

Yaitu masalah yang telah disusun dan dirumuskan haruslah bermanfaat, baik siswa sebagai pemecah masalah maupun guru sebagai pembuat masalah. Masalah yang bermanfaat adalah masalah yang dapat meningkatkan kemampuan berfikir memecahkan masalah siswa, serta membangkitkan motivasi belajar siswa.

Ø Penyelidikan autentik

Pengajaran berbasis masalah siswa melakukan penyelidikan autentik untuk mencari penyelesaian nyata terhadap masalah nyata. Mereka harus menganalisis dan mendefinisikan masalah, mengembangkan hipotesis dan membuat ramalan, mengumpulkan dan menganalisis informasi, melakukan eksperimen (jika diperlukan), membuat inferensi dan merumuskan kesimpulan. Metode penyelidikan yang digunakan bergantung pada masalah yang sedang dipelajari.

Ø Menghasilkan produk/karya dan memamerkannya

Pengajaran berbasis masalah menuntut siswa untuk menghasilkan produk tertentu dalam bentuk karya nyata atau artefak dan peragaan yang menjelaskan atau mewakili bentuk penyelesaian masalah yang mereka temukan. Produk itu dapat berupa transkip debat, laporan, model fisik, video atau program komputer (Ibrahim & Nur, 2000:5-7 dalam Nurhadi, 2003:56)

Ø Kerjasama.

Model pembelajaran berbasis masalah dicirikan oleh siswa yang bekerjasama satu sama lain, paling sering secara berpasangan atau dalam kelompok kecil. Bekerjasama memberikan motivasi untuk secara berkelanjutan terlibat dalam tugas-tugas kompleks dan memperbanyak peluang untuk berbagi inkuiri dan dialog dan untuk mengembangkan keterampilan sosial dan keterampilan berpikir.

e. Tahapan Pengajaran Berbasis Masalah

Pengajaran berbasis masalah terdiri dari lima tahapan utama (menurut Nurhadi, 2003:58-59). Kelima tahapan itu dimulai dengan guru memperkenalkan siswa dengan suatu situasi masalah dan diakhiri dengan penyajian dan analisis hasil kerja siswa :

Lebih lanjut Arends (2004) merinci langkah-langkah pelaksanaan PBL dalam pengajaran. Arends mengemukakan ada 5 fase (tahap) yang perlu dilakukan untuk mengimplementasikan PBL. Fase-fase tersebut merujuk pada tahap-tahapan praktis yang dilakukan dalam kegiatan pembelajaran dengan PBL sebagaimana disajikan pada :

Fase Aktivitas guru

Fase 1: Mengorientasikan siswa/ mahasiswa pada masalah

Pembelajaran dimulai dengan menjelaskan tujuan pembelajaran dan aktivitas-aktivitas yang akan dilakukan. Dalam penggunaan PBL, tahapan ini sangat penting dimana guru/dosen harus menjelaskan dengan rinci apa yang harus dilakukan oleh siswa/mahasiswa dan juga oleh dosen. Disamping proses yang akan berlangsung, sangat penting juga dijelaskan bagaimana guru/dosen akan mengevaluasi proses pembelajaran. Hal ini sangat penting untuk memberikan motivasi agar siswa dapat engage dalam pembelajaran yang akan dilakukan.

Fase 2: Mengorganisasikan siswa/ mahasiswa untuk belajar

Disamping mengembangkan ketrampilan memecahkan masalah, pembelajaran PBL juga mendorong siswa/mahasiswa belajar berkolaborasi. Pemecahan suatu masalah sangat membutuhkan kerjasama dan sharing antar anggota. Oleh sebab itu, guru/dosen dapat memulai kegiatan pembelajaran dengan membentuk kelompok-kelompok siswa dimana masing-masing kelompok akan memilih dan memecahkan masalah yang berbeda. Prinsip-prinsip pengelompokan siswa dalam pembelajaran kooperatif dapat digunakan dalam konteks ini seperti: kelompok harus heterogen, pentingnya interaksi antar anggota, komunikasi yang efektif, adanya tutor sebaya, dan sebagainya. Guru/dosen sangat penting memonitor dan mengevaluasi kerja masing-masing kelompok untuk menjaga kinerja dan dinamika kelompok selama pembelajaran.

Setelah mahasiswa diorientasikan pada suatu masalah dan telah membentuk kelompok belajar selanjutnya guru dan mahasiswa menetapkan subtopik-subtopik yang spesifik, tugas-tugas penyelidikan, dan jadwal. Tantangan utama bagi guru pada tahap ini adalah mengupayakan agar semua mahasiswa aktif terlibat dalam sejumlah kegiatan penyelidikan dan hasil-hasil penyelidikan ini dapat menghasilkan penyelesaian terhadap permasalahan tersebut.

Fase 3: Membantu penyelidikan mandiri dan kelompok

Penyelidikan adalah inti dari PBL. Meskipun setiap situasi permasalahan memerlukan teknik penyelidikan yang berbeda, namun pada umumnya tentu melibatkan karakter yang identik, yakni pengumpulan data dan eksperimen, berhipotesis dan penjelasan, dan memberikan pemecahan. Pengumpulan data dan eksperimentasi merupakan aspek yang sangat penting. Pada tahap ini, guru harus mendorong mahasiswa untuk mengumpulkan data dan melaksanakan eksperimen (mental maupun aktual) sampai mereka betul-betul memahami dimensi situasi permasalahan. Tujuannya adalah agar mahasiswa mengumpulkan cukup informasi untuk menciptakan dan membangun ide mereka sendiri. Pada fase ini seharusnya lebih dari sekedar membaca tentang masalah-masalah dalam buku-buku. Guru membantu mahasiswa untuk mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya dari berbagai sumber, dan ia seharusnya mengajukan pertanyaan pada mahasiswa untuk berifikir tentang massalah dan ragam informasi yang dibutuhkan untuk sampai pada pemecahan masalah yang dapat dipertahankan.

Fase 4: Mengembangkan dan menyajikan artifak (hasil karya) dan mempamerkannya

Tahap penyelidikan diikuti dengan menciptakan artifak (hasil karya) dan pameran. Artifak lebih dari sekedar laporan tertulis, namun bisa suatu videotape (menunjukkan situasi masalah dan pemecahan yang diusulkan), model (perwujudan secara fisik dari situasi masalah dan pemecahannya), program komputer, dan sajian multimedia. Tentunya kecanggihan artifak sangat dipengaruhi tingkat berfikir mahasiswa. Langkah selanjutnya adalah mempamerkan hasil karyanya dan guru berperan sebagai organisator pameran. Akan lebih baik jika dalam pemeran ini melibatkan mahasiswa-mahasiswa lainnya, guru-guru, orangtua, dan lainnya yang dapat menjadi “penilai” atau memberikan umpan balik.

Fase 5: Analisis dan evaluasi proses pemecahan masalah

Fase ini merupakan tahap akhir dalam PBL. Fase ini dimaksudkan untuk membantu mahasiswa menganalisis dan mengevaluasi proses mereka sendiri dan kete-rampilan penyelidikan dan intelektual yang mereka gunakan. Selama fase ini guru meminta mahasiswa untuk merekonstruksi pemikiran dan aktivitas yang telah dilakukan selama proses kegiatan belajarnya. Kapan mereka pertama kali memperoleh pemahaman yang jelas tentang situasi masalah? Kapan mereka yakin dalam pemecahan tertentu? Mengapa mereka dapat menerima penjelasan lebih siap dibanding yang lain? Mengapa mereka menolak beberapa penjelasan? Mengapa mereka mengadopsi pemecahan akhir dari mereka? Apakah mereka berubah pikiran tentang situasi masalah ketika penyelidikan berlangsung? Apa penyebab perubahan itu? Apakah mereka akan melakukan secara berbeda di waktu yang akan datang? Tentunya masih banyak lagi pertanyaan yang dapat diajukan untuk memberikan umpan balik dan menginvestigasi kelemahan dan kekuatan PBL untuk pengajaran.

D. TUJUAN DAN HASIL BELAJAR

Pembelajaran berbasis masalah tidak dirancang untuk memberikan informasi sebanyak-banyaknya pada siswa. PBL dikembangkan untuk mengembangkan kemampuan keterampilan berpikir, mengembangkan pengetahuan dan keterampilan memecahan masalah dan keterampilan intelektual, belajar berbagi peran orang dewasa melalui pelibatan mereka pada pengalaman nyata, mengembangkan keterampilan belajar pengarahan sendiri yang efektif (effective self directed learning) (Barraws; 1996: Ibrahim dan Nur, 2004).

Keterampilan Berpikir dan Keterampilan Memecahkan Masalah

Pembelajaran berbasis masalah ditujukan untuk mengembangkan keterampilan berpikir tingkat tinggi. Keterampilan berpikir tingkat tinggi tidak sama dengan keterampilan yang berhubungan dengan pola-pola tingkah laku rutin. Larson (1990) dan Lauren Resnick (Ibrahim dan Nur, 2004) menguraikan cirri-ciri berpikir tingkat tinggi seperti berikut.

ü tidak bersifat algoritmik (noalgoritmic), yakni alur tindakan tidak sepenuhnya dapat ditetapkan sebelumnya.

ü Cenderung kompleks, keseluruihan alurnya tidak dapat diamati dari satu sudut pandang.

ü Seringkali menghasilkan banyak solusi, masing-masing dengan keuntungan dan kerugian, dari pada yang tunggal.

ü Melibatkan pertimbangan dan interpretasi.

ü Melibatkan banyak kriteria, yang kadang-kadang bertentangan satu sama lain.

ü Seringkali melibatkan ketidakpastian. Tidak selalu segala sesuatu yang berhubungan dengan tugas diketahui.

ü Melibatkan pengaturan diri (self regulated) tentang proses berpikir.

ü Melibatkan pencarian makna menemukan struktur pada keadaan yang tampaknya tidak teratur.

ü Berpikir tingkat tinggi adalah kerja keras. Ada pengerahan kerja mental besar,besaran saat melakukan elaborasi dan pertimbangan yang dibutuhkan.

Pemodelan Peranan Orang Dewasa

Resnick ( Ibrahim dan Nur, 2004) mengemukakan bahwa bentuk pembelajaran berbasis masalah penting menjembatani gap antara pembelajaran sekolah formal dengan aktivitas mental yang lebih praktis yang dijumpai di luar sekolah. Aktivitas-aktivitas mental di luar sekolah yang dapat dikembangkan adalah:

· PBL mendorong kerjasama dalam menyelesaikan tugas.

· PBL memiliki elemen-elemen magang. Hal ini mendorong pengamatan dan dialog dengan yang lain sehingga siswa secara bertahap dapat memahami peran yang diamati tersebut.

· PBL melibatkan siswa dalam penyelidikan pilihan sendiri, yang memungkinkan mereka menginterpretasikan dan menjelaskan fenomena dunia nyata dan membangun femahamannya tentang fenomena itu.

Belajar Pengarahan Sendiri (self directed learning)

Pembelajaran berbasis masalah berpusat pada siswa. Siswa harus dapat menentukan sendiri apa yang harus dipelajari, dan dari mana informasi harus diperoleh, dibawah bimbingan guru (Barrows, 1996). Dengan bimbingan guru yang secara berulang-ulang mendorong dan mengarahkan mereka untuk mengajukan pertanyaan mencari penyelesaian terhadap masalah nyata oleh mereka sendiri, siswa belajar untuk menyelesaikan tugas-tugas itu secara mandiri dalam kehidupan kelak (Ibrahim dan Nur, 2004).

E. TEORI BELAJAR YANG MENDUKUNG PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH

Ada berbagai definisi tentang belajar. Dari berbagai definisi yang dikemukakan para ahli secara singkat dapat dinyatakan: ” apabila seseorang pada kurun waktu tertentu telah terjadi perubahan tingkah laku dan memiliki nilai tambah, dari yang tidak tahu menjadi tahu, yang tadinya tidak terampil menjadi terampil, maka dia telah belajar sesuatu”. Belajar dan pembelajaran merupakan suatu kegiatan yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Menurut konsep komunikasi, pembelajaran adalah proses komunikasi fungsional antara siswa denagn guru dan siswa dengan siswa, dalam rangka perubahan sikap dan pola piker yang akan menjadi kebaiasaan bagi siswa yang bersangkutan. Dalam pembelajaran komunikasi yang diharapkan adalah komunikasi dua arah yaitu antara guru dengan siswa dan sebaliknya, serta antara siswa denagn siswa.

Ada banyak teori belajar yang dikemukakan para ahli, berikut disajikan beberapa teori belajar yang mendukung pembelajaran berbasis masalah dan pada umumnya dijadikan landasan metode pembelajaran dalam sistem pendidikan.

a. Teori Belajar yang dikemukakan oleh Ausubel

Menurut Ausubel belajar bermakna timbul jika siswa mencoba menghubungkan pengetahuan baru dengan pengetahuan yang dimilikinya. Hal itu terjadi, jika siswa belajar konsep yang ada. Akibatnya, struktur konsep/pengetahuan yang telah dimiliki siswa mengalami perubahan. Namun demikian, jika pengetahuan baru tidak berhubungan dengan pengetahuan yang ada, maka pengetahuan baru itu akan dipelajari siswa melalui belajar hafalan. Artinya, siswa hanya menerima selanjutnya menghafalkan materi yang sudah diperolehnya. Hal ini disebabkan pengetahuan yang baru tidak dikembangkan dengan keadaan lain atau pengetahuan yang ada. Tetapi pada belajar bermakna materi yang telah diperoleh dikembangkan dengan keadaan lain sehingga belajarnya lebih dimengerti.

b. Teori Belajar yang dikemukakan oleh Piaget

Menurut Piaget, perkembangan kognitif seseorang melalui beberapa tahapan, yaitu sensorimotor ( sampai dengan usia 2 tahun), Concreteoperations (usia 2-11 tahun), dan formal–operations (setelah usia 11 tahun). Pada tahap sensorimotor pengetahuan yang diperoleh masih sangat terbatas sejalan dengan perkembangan fisik dari anak yang bersangkutan. Pada tahap Concrete-operations anak sudah mulai belajar simbol yang merupakan representasi dari obyek tertentu. Anak mulai belajar menghubungkan suatu obyek dengan simbol tertentu.

Sedangkan pada tahap formal–operations pengetahuan yang diperoleh anak semakin kompleks. Karena anak telah banyak perbendaharaan kata dan memahami arti serta dapat mengasosiasikan dengan kata-kata lainnya. Dalam tahap ini anak sudah dapat merangkum atau mengkombinasikan dua konsep atau lebih untuk membentuk suatu aturan. Kombinasi dari dua aturan atau lebih itu sudah dapat mereka gunakan untuk memecahkan suatu masalah. Contoh, untuk menghitung luas sisi kubus berbeda caranya dengan menghitung luas sisi balok, meskipun prinsip dasar aturannya sama.

Piaget (dalam Ibrahim, 2000:17) mengemukakan bahwa siswa dalam segala usia secara aktif terlibat dalam proses perolehan informasi dan membangun pengetahuan mereka sendiri. Pengetahuan tidak statis tetapi secara terus menerus tumbuh dan berubah pada saat siswa menghadapi pengalaman baru yang memaksa mereka membangun dan memodifikasi pengetahuan awal mereka. Pemanfaatan teori Piaget dalam pembelajaran adalah sebagai berikut :

1) Memusatkan pada proses berfikir dan bukan pada sekedar hasilnya.

Disamping kebenaran siswa, guru harus memahami proses yang digunakan anak sehingga sampai pada jawaban itu.

2) Mengutamakan peran siswa dalam berinisiatif sendiri dan

keterlibatan aktif dalam kegiatan pembelajaran. Di dalam kelas, pemberian pengetahuan jadi tidak mendapat penekanan, melainkan anak didorong menemukan sendiri melalui interaksi spontan dengan lingkungannya.

3) Memaklumi akan adanya perbedaan individual dalam hal kemajuan perkembangan.

Teori Piaget mengasumsikan bahwa seluruh siswa tumbuh melewati urutan perkembangan yang sama, namun pertumbuhan itu berlangsung pada kecepatan berbeda.

F. PENERAPAN PBL DALAM PEMBELAJARAN IPS TERPADAU

Ø Contoh Penerapan Pembelajaran Dalam PBL

1) Sebelum prose pembelajaran dimulai guru terlebih dahulu menyampaikan tujuan pembelajaran dan menginformasikan model pembelajaran yang akan digunakan serta memberikan motivasi kepada siswa dengan menceritakan kehidupan sehari-hari yang berkaitan dengan materi yang akan disampaikan.

2) Tahap-tahap pembelajaran berbasis masalah sebagai berikut.

a) Mengorientasi siswa pada masalah

Guru mengajukan dua masalah kontekstual yang terkait dengan pokok bahasan : yaitu kegiatan ekonomi masyarakat

b) Mengorganisasikan siswa untuk belajar

Pada tahap ini guru membagi siswa dalam beberapa kelompok yang terdiri dari 4 – 8 orang perkelompok dan meminta setiap kelompok untuk menggunakan ide dari kelompoknya sendiri dalam menyelesaikan masalah yang diberikan.

c) Membimbing penyelidikan individual maupun kelompok

Guru memberikan dorongan kepada kelompok dalam mengumpulkan data dan berkeliling ,Memantau kerja masing-masing kelompok serta membantu kelompok yang mengalami kesulitan.

d) Mengembangkan dan menyajikan hasil karya

Masing-masing kelompok diberi kesempatan untuk mempresentasikan hasil kerja kelompoknya dan menanggapi hasil pemecahan kelompok lain. Guru mengamati siswa dan membimbing siswa yang mengalami kesulitan.

e) Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah

Guru membantu siswa dalam mengkaji ulang proses atau hasil pemecahan masalah dan memberi penguatan terhadap hasil pemecahan masalah siswa.

3) Penutup

Guru membimbing siswa untuk merangkum atau menarik kesimpulan dari hasil temuan mereka.,

F. Penilaian

a. Jenis tagihan : Tes / nontes.

b. Teknik : Kuis, tes tertulis, projek.

b. Bentuk instrumen : Uraian singkat, Pertanyaan lisan, Rubrik penilaian.

c. Soal/instrumen :

KESIMPULAN

PBL adalah suatu pendekatan yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk belajar tentang cara berpikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah, serta untuk memperoleh pengetahuan yang esensial dari materi pelajaran. Pembelajaran berbasis masalah dirancang untuk merangsang berpikir tingkat tinggi dalam situasi berorientasi pada masalah.

Pembelajaran berbasis masalah dikembangkan terutama untuk membantu kemampuan berpikir, pemecahan masalah, dan keterampilan intelektual dan belajar menjadi pembelajar yang otonom. Keuntungan PBL adalah mendorong kerja sama dalam menyelesaikan tugas. Pembelajaran berbasis masalah melibatkan siswa dalam penyelidikan pilihannya sendiri, yang memungkinkan siswa menginterpretasikan dunia nyata dan membangun pemahaman tentang fenomena tersebut.

pembelajaran IPS dengan pendekatan masalah adalah pada tahap perancangan dan pemilihan model pemecahan masalah sehingga seorang pegajar mendapatkan rancangan yang jelas tentang bagaimana sebuah pembelajaran diarahkan .sehingga penerapan IPS dengan pendekatan masalah menjadi sebuah evaluasi . Pengajar dapat memodifikasi langkah-langkah yang disampaikan oleh para ahli dengan tetap memperhatikan prinsip yang baku sesuai dengan gaya mengajar Anda serta fasilitas yang ada sehingga tujuan dari pembelajaran IPS dapat tercapai.

DAFTAR PUSTAKA

Boud, D. Dan Felleti, G.I. 1997. The challenge of problem based learning. London: Kogapage

Fogarty, R. 1997. Problem-based learning and other curriculum models for the multiple intelligences classroom. Arlington Heights, Illionis: Sky Light.

Abbas, Nurhayati. 2000. Pengembangan Perangkat Pembelajaran Matematika Beroriantasi Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Instruction). Program Studi Pendidikan Matematika Pasca Sarjana. UNESA.

Woods, D. R. 1996. Problem-based learning: how to gain the most from PBL. Canada: McMaster University Bookstore

Johnson, Elaine B. 2002. Contextual Teaching and Learning: What is is and why it's here to stay. United states of America: Corwin Press, Inc.

Barrows, H.S. & Tamblyn, R.M.. 1980. Problem-based Learning: an Approach to Medical Education. New York: Springer Publishing

Sutrisno. 2006. Problem-based Learning. Dalam monograf Model-model pembelajaran Sains (kimia) inovatif. Malang:Jurusan Kimia

Ibrahim, Muslimin dan Nur. 2000. Pembelajaran Berdasarkan Masalah. Surabaya: UNESA.

Nurhadi. 2003. Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and Learning/CTL) Dan Penerapannya Dalam KBK. Malang: Universitas Negeri Malang

Depdiknas. (2003). Pengajaran Berdasarkan Masalah. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

http://math04-uinmks.blogspot.com/2008/02/pembelajaran-berbasis-masalah.html, online 23-02-2009. 19.05

http://pembelajaran.org/search/label/Pembelajaran%20Berbasis%20masalah, online 23-02-2009. 19.37

http://lubisgrafura.wordpress.com/2007/09/19/pembelajaran-berbasis-masalah/. Online 29-04- 2009. 12.00

Tidak ada komentar: